Analisa Iklan Cetak Fren di Tinjau Dari Nilai Etis, Estetis, dan Artistik

Industri telepon seluler mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dekade terakhir ini, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Di Indonesia pun telepon seluler telah mengubah peta industri telekomunikasi secara radikal. Dimana telepon yang dulunya merupakan barang mewah, sehingga hanya kelompok tertentu yang bisa menikmatinya, sekarang dengan mudah mendapatkannya, murah lagi, khususnya operator mobile seluler.


Semua lapisan masyarakat memiliki akses untuk dapat menggunakan sarana telekomunikasi untuk berbagai keperluan, baik untuk urusan bisnis, keluarga, ataupun keperluan lainnya. Demikian juga semua lapisan masyarakat dari lapisan elit sampai pembantu rumah tangga dari kota besar ataupun pelosok-pelosok di seluruh Indonesia dapat mengakses sarana telekomunikasi yang ada. Apalagi program universal service obligation (USO) sudah menjadi program pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga pelayanan jasa telekomunikasi dibawa ke daerah-daerah terisolir, meskipun hasilnya masih belum memuaskan.
Akhir-akhir ini kita melihat persaingan yang semakin ketat antar operator dalam menarik konsumen supaya tertarik untuk menggunakan produknya, khususnya untuk mobile seluler. Bahkan dalam beberapa media kita saksikan perang harga untuk menarik pelanggan dilakukan oleh berbagai operator, sampai-sampai ada yang menawarkan sms gratis ataupun percakapan gratis guna menarik konsumen.
Ada beberapa hal yang menarik yang perlu dibahas dari media massa televisi dan surat kabar maupun media digital seperti internet atau sering disebut dengan istilah e - advertising, bukan berita tentang koalisi presiden SBY dengan Budiono, ataupun tentang jatuhnya pesarat TNI yang menewaskan hampir 100 jiwa, melainkan iklan yang bergaya “tak biasa”. Nah sesuai judul yang saya pilih, ada advertensi yang menjadi sorotan dan perhatian publik yang perlu dibahas dan mengulasnya sedikit dari sudut pandang dunia periklanan khususnya dari sisi etis, estetis dan artistik dengan spesifik subjek iklan atau advertensi.Jika anda sempat searching interntet kususnya yang behubungan dengan operator selular, ada sebuah advertensi dari salah satu provider telekomunikasi, tepatnya mobile-8 dengan produk FREN-nya. Advertensi ini menjadi advertensi yang eye catching, dengan muatan pictorial yang disajikan sebagai menu aksentuasinya.

Pengertiaan Etis, Estetis, danArtistik

Ketika media massa berada dalam konteks sosial dan dikonsumsi oleh khalayak maka pada saat itu media massa berhadapan dengan masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media massa pada dasarnya tidak bebas nilai. Seluruh proses produksi, distribusi dan konsumsi pesan komunikasi merupakan hasil interaksi para pelaku, konsumen dan distributor komunikasi. Interaksi inilah yang mau tidak mau menempatkan proses komunikasi dalam kerangka tindakan manusia. Mana tindakan yang baik, mana tindakan yang buruk. Itulah point utama dari masalah etika.
Bagian ini mencoba untuk memberikan bahasan singkat mengenai etika, estetis, dan estetika dalam konteks media massa. Etika dan nilai membimbing individu atau kelompok pelaku komunikasi atas seluruh pilihan, sikap dan tindakan yang dianggap perlu dalam menyatakan proses komunikasi itu sendiri.

PEMIKIRAN ETIS
Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai dan level kontekstualisasi pada tingkat individu, kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati. Menentukan kualitas etika yang ditegakkan. Dilema moral atau pilihan moral selalu mempunyai masalah yang tidak begitu saja diselesaikan secara simplistik. Pilihan-pilihan etis harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis.

PRINSIP-PRINSIP ETIS
Prinsip-prinsip etis adalah dasar rasional dalam setiap pilihan tindakan yang etis. Prinsip-prinsip etis yang bisa diperlihatkan adalah aturan nilai tengah yang mempunyai makna bahwa tindakan etis yang baik adalah prinsip tindakan di antara dua nilai ekstrim yang berlawanan, prinsip yang menyatakan bahwa kita harus bertindak berdasarkan prinsip nilai yang universal (misalnya prinsip kebaikan, kejujuran, tidak boleh membunuh), prinsip situasional adalah prinsip bahwa tindakan manusia selalu bersifat kontekstual dan relatif didasarkan pada situasi tertentu, prinsip utilitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa tindakan selalu mendasarkan pada prinsip kegunaan dan prinsip “membahagiakan” semua orang, prinsip yang lain adalah prinsip pragmatis yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang bisa dilakukan atau bisa diaplikasikan.

Estetis
Estetis yaitu cabang ilmu yang berkenaan dengan masalah keindahan Estetis dipahami sebagai kualitas visual, yaitu nilai yang dimiliki oleh sebuah obyek visual. (nilai visual)
Dalam kehidupan sehari – hari banyak digunakan istilah – istilah yang menunjukkan nilai –nilai visual yang dihubungkan dengan kualitas visual, antara lain cantik, baik, betul dan bagus bahkan diantaranya seringkali dipertukarkan satu sama lain. Bentuk –bentuk yang mencapai nilai betul dapat dipahami sebagai estetis, yaitu nilai yang dicapai karena sebuah olahan mengikuti satu aturan atau kaidah hubungan bentuk. Nilai indah tidak hanya berkisar pada masalah betul, jauh melebihi nilai tersebut. Dengan demikian salah satu perbedaan antara nilai indah dan estetis dapat dipahami sebagai tingkat kualitas visual yang berbeda.
Disamping itu terdapat juga beberapa cara untuk menbedakan obyek yang indah dan obyek yang estetis.
Yang disebut dengan indah menyangkut semua yang dapat ditangkap oleh indra mulai dari suara, bau, hingga visual. Sedangkan sesuatu yang estetis hanya berlaku untuk obyek visual saja.
Nilai keindahan cenderung abadi dan berlaku cukup universal sedangkan sesuatu yang estetis lebih bergantung pada waktu, tidak universal. Oleh karena itu, obyek – obyek ciptaan manusia (artefak) lebih memiliki nilai estetis dari pada nilai indah. Hal ini tidak berarti bahwa ciptaan manusia tidak ada yang indah. Misalkan karya – karya arsitek atau seniman zaman dahulu kala.Hal ini juga berlaku dalam karya iklan

Pengertian Artistik
Ketika Kita bicara masalah artistik pasti tentu berhubungan dengan sebuah tata letak, atau Layout. Layout adalah penyusunan dari elemen-elemen desain yang berhubungan kedalam sebuah bidang sehingga membentuk susunan artistik. Hal ini bisa juga disebut manajemen bentuk dan bidang. Layout atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan tata letak adalah pengaturan tulisan-tulisan dan gambar-gambar.
Pengertian dari layout adalah rencana atau desain keseluruhan dari sistem dokumen. Misalnya, pada program tata halaman, tata letak halaman iklan iklan cetak mengacu pada penyusunan elemen-elemen, seperti emage dan penempatan teks, Tagline dan grafika pada halaman iklan.
Bagaimanakah iklan yang baik itu, atau bisa dikatakan artistik? Atau bagaimanakah sebuahiklan dikatakan baik? Sampai saat ini belum ada jawaban yang sangat tepat tetapi ada beberapa kriteria yang dapat digunakan. Ada tiga kriteria dasar untuk sebuah iklan yang dikatakan baik, yaitu : It Works (mencapai tujuannya), It Organizes (ditata dengan baik) dan It Attracts (menarik bagi khalayak).
Sebuah iklan dapat bekerja dan mencapai tujuannya bila pesan-pesan yang akan disampaikan dapat segera ditangkap dan dipahami oleh khalayak dengan suatu cara tertentu. Selanjutnya, sebuah iklan harus ditata dan dipetakan secara baik supaya khalayak dapat berpindah dari satu bagian ke bagian yang lain dan memahami isi pesan. Akhirnya, sebuah iklan harus menarik untuk mendapatkan perhatian yang cukup dari Khalayak. Kunci utama untuk membuat iklan yang baik adalah pemahaman secara mendalam ketiga kriteria diatas.

Bahasan Iklan Fren Sobat Di Tinjau Dari Nilai Etis, Estetis, Dan Artistik



Nila Etis (KEPANTASAN) pada iklan fren sobat

“ NELPON PAKE FREN BAYARNYA PAKE DAUN” ,?
adalalah Tagline dari iklan Fren Sobat, pertanyaannya adalah, etiskah kata-kata tersebut jika digunakan untuk merayu khalayak konsumen?
Ada sebuah kisah menarik ketika Awal tahun 1990-an.
Seorang mahasiswa meneruskan studi di sebuah kampus
di kota Depok. Orangtuanya berdomisili di luar Jakarta, tepatnya di sebuah kota di Pulau Sumatera. Selain harus membayar uang kos, si mahasiswa juga memerlukan biaya untuk membeli buku-buku kuliah, fotokopi diktat, transportasi, makan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, setiap kali kehabisan uang, ia akan mengirim surat untuk meminta ongkos tambahan kepada orangtuanya di kampung. Bulan itu, untuk kesekian kalinya ia meminta tambahan ongkos. Sepucuk surat balasan datang dari sang Ayah. Dengan gembira, dibukanya kiriman yang disangkanya berisikan uang. Ternyata hanya secarik kertas dan sebaris pesan dari beliau: “Kau kira duit itu daun-daun hah?…”Kisah ini menyentuh pendengar dengan caranya sendiri. Humor getir di dalamnya sangat menggoda untuk diceritakan kembali, di lain waktu, lain tempat dan lain khalayak. Dan dalam setiap kesempatan, kisah ini hampir tak pernah gagal memancing tawa sembari menelisipkan pesan : Uang adalah benda yang berharga, tidak seperti daun-daun yang tinggal menunggu dipungut atau dipetik setiap kali kita membutuhkannya. Lebih jauh lagi, internalisasi pesan dalam humor tersebut muncul dalam selorohan anak-anak muda pada masa setelah itu dan menguatkan kisah yang melatarbelakanginya. “Elo kira duit itu daun-daun…
Daun-daun dalam konteks yang sama muncul dalam teks iklan Fren. “Nelpon Pake Fren, Bayarnya Pakai Daun” adalah sebuah pesan yang pada dasarnya sama dengan kebanyakan iklan operator seluler : penurunan tarif. Penggunaan kata ‘daun’ dalam iklan ini adalah untuk mewakili konsep yang sama dengan kata gratis, tidak bayar, Rp 0,- atau bebas biaya.
Namun hal ini iklan Fren membingungkan konsumen “Sebenarnya maksud iklan itu apa, itu tidak jelas maknanya. Karena daun itu bukan alat tukar pembayaran yang sah.
Sebuah teks senantiasa memiliki konteks. Teks adalah bentuk linguistik yang kadang dicerabut secara semu dan sementara dari konteksnya. Pencerabutan memang selalu bersifat semu dan sementara karena penggunaan bahasa, termasuk bahasa dalam iklan, tidak pernah bisa dipisahkan dari konteks keberadaannya. Konteks dalam hal ini bisa berupa substansi, musik, gambar, paralanguage (biasa disebut non verbal cues seperti mimik muka, gestures, intonasi suara, dll.) selain juga situasi, pihak yang terlibat dan fungsi dari teks itu sendiri. Selain itu, konteks juga mencakup interteks yang merupakan teks lain yang memiliki hubungan dengan teks yang menjadi subyek analisis.
Dalam konteks iklan Fren, memang daun-daun bukanlah benda yang secara harafiah digunakan sebagai pengganti uang atau menjadi salah alat pembayaran yang sah. Penggunaan kata daun-daun mungkin memiliki konteks yang dianggap telah terinternalisasi dalam masyarakat melalui kisah dan selorohan yang agaknya telah menyebar terutama di kalangan muda perkotaan. Mungkin juga Segmen inilah yang hendak disasar oleh Fren, seperti diperkuat pula oleh penggunaan sekelompok anak muda sebagai bintang iklannya. Sampai disini, teks yang digunakan telah menjadi kontekstual menimbang pihak yang ingin disasar. Asosiasi mengenai uang, daun, dan biaya sangat kentara dalam wacana anak muda perkotaan tapi akan sangat sulit difahami dan kurang jelas bagi segmen yang lain.
Sampai disini, teks iklan Fren harus kembali kepada fungsinya (sekali lagi, konteks). Sebuah iklan memiliki tujuan utama, yaitu menjual, baik ide, jasa maupun barang. namun yang terjadi asosiasi antara daun dengan konsep bebas bayar tidak sekuat yang dibayangkan si pembuat iklan, maka pesan iklan tersebut tidak akan efektif mendukung tujuan utama.
Iklan dalam menyampaikan pesan memakai bahasa, dengan segala bentuk kreatifnya memiliki ragam sendiri, yaitu bahasa ragam iklan.Bila masyarakat bingung terhadap makna yang muncul dari interpretasi terhadap iklan tersebut mereka akan bilang, “iklan aja dipercaya”. Namun jika benar bahwa segmen yang dituju adalah segmen anak muda perkotaan, beruntunglah karena mungkin saja Iklan tersebut sampai kepada benak konsumen, ‘’ Mungkin saja..” dan fren jangan berharap lebih kepada segmen yang lain yang mungkin tidak mengerti dengan tagline tersebut agar mereka memakai produk fren. Tapi seharusnya iklan yang efektif adalah iklan yang mudah dimengerti dan sampai kepada khalayak konsumen, bukan saja hanya segmen yang dituju, tanpa mereka harus berpikir menter-jemahkan sendiri dengan pusing dari iklan yang di lihat, dan seharusnya iklan yang baik adalah iklan yang bukan saja bisa diterje-mahkan dalan bentuk konteksnya namun juga bisa diterjemahkan secara harfiah agar iklan itu pantas untuk dipulikasikan dan diterima khalayak konsumen.

Nilai ESTETIS ( kELAYAKAN) pada iklan fren sobat
Dalam iklan ini terlihat 4 model dengan wanita (yang tentunya cantik) sebagai salah satu modelnya. Digambarkan dalam iklan ini keempat orang tersebut berdiri saling berdekatan dan seolah-olah dikesankan bertelanjang dada (walaupun untuk ketiga model pria jelas-jelas bertelanjang dada), dan hanya di tutup oleh daun sirih yang tidak jelas maknanya, tiga pria yang berada di sisi kanan belakag digambarkan sedang menelepom sambil tertawa riang sementara seorang wanita yang hanya terlihat separuh badannya dan kembali dikesankan bertelanjang dada, dan sedikit tertutup daun dan dengan ekspresi yang tidak begitu jelas makna nya .

Mungkin ide DUIT DAUN ini bisa dipakai, tetapi yang membuat aneh di sini,adalah gambar wanita yang telanjang bahu dan hanya berkemben (kain wanita jaman dulu yang dibelitkan di tubuh) DAUN?
Sangat jelas bahwa iklan-iklan seperti ini bisa dibilang tidak mendidik. bisa dipastikan siapapun yang melihat iklan seperti ini,bukan isi pesannya yang diperhatikan , tetapi gambar wanita dan pria yang bertelanjang bahu tersebut. Jika kita perhatikan, iklan ini terlalu vulgar dan memberikan imej yang kurang sopan, terlebih lagi tampilan seorang wanita yang dikesankan telanjang dada harus dikerubuti 3 orang pria, benar-benar iklan yang seronok dan tidak sesuai serta tidak layak dipubish ditengah masyarkat kita.
Dalam dunia komunikasi pemasaran, strategi yang digunakan oleh FREN ini jelas merupakan upaya untuk meng-encourage consumer involvement (keterlibatan konsumen) baik cognitive, affective, maupun behavioral involvement. Penggunaan gambar vulgar (yang walaupun akan memancing kontroversi) diharapkan akan memancing konsumen untuk lebih “serius” terlibat dengan iklan ini, baik dengan membaca dan melihatnya lebih lama (cognitive involvement), menyukai atau membencinya (affective involvement) dan kemudian terlibat secara langsung dengan iklan ini (behavioral involvement) kemudian konsumen membeli produk Fren. Walaupun iklan ini berhasil menggunakan strategi meng-encourage involvement konsumen tetapi ada kesalahan pemilihan menu “umpan” yang terlalu vulgar akan menjadi bumerang tersendiri bagi brand image Fren. Terlebih isu pornografi merupakan salah satu isu yang menjadi menu laris dan kontroversial, sehingga iklan ini terkesan murahan, dan kurang cerdas.
Dalam iklan ini terlihat 4 model dengan wanita (yang tentunya cantik) sebagai salah satu modelnya. Digambarkan dalam iklan ini keempat orang tersebut berdiri saling berdekatan dan seolah-olah dikesankan bertelanjang dada (walaupun untuk ketiga model pria jelas-jelas bertelanjang dada), dan hanya di tutup oleh daun sirih yang tidak jelas maknanya, tiga pria yang berada di sisi kanan belakag digambarkan sedang menelepom sambil tertawa riang sementara seorang wanita yang hanya terlihat separuh badannya dan kembali dikesankan bertelanjang dada, dan sedikit tertutup daun dan dengan ekspresi yang tidak begitu jelas makna nya .
Mungkin ide DUIT DAUN ini bisa dipakai, tetapi yang membuat aneh di sini,adalah gambar wanita yang telanjang bahu dan hanya berkemben (kain wanita jaman dulu yang dibelitkan di tubuh) DAUN?
Sangat jelas bahwa iklan-iklan seperti ini bisa dibilang tidak mendidik. bisa dipastikan siapapun yang melihat iklan seperti ini,bukan isi pesannya yang diperhatikan , tetapi gambar wanita dan pria yang bertelanjang bahu tersebut. Jika kita perhatikan, iklan ini terlalu vulgar dan memberikan imej yang kurang sopan, terlebih lagi tampilan seorang wanita yang dikesankan telanjang dada harus dikerubuti 3 orang pria, benar-benar iklan yang seronok dan tidak sesuai serta tidak layak dipubish ditengah masyarkat kita.
Dalam dunia komunikasi pemasaran, strategi yang digunakan oleh FREN ini jelas merupakan upaya untuk meng-encourage consumer involvement (keterlibatan konsumen) baik cognitive, affective, maupun behavioral involvement. Penggunaan gambar vulgar (yang walaupun akan memancing kontroversi) diharapkan akan memancing konsumen untuk lebih “serius” terlibat dengan iklan ini, baik dengan membaca dan melihatnya lebih lama (cognitive involvement), menyukai atau membencinya (affective involvement) dan kemudian terlibat secara langsung dengan iklan ini (behavioral involvement) kemudian konsumen membeli produk Fren. Walaupun iklan ini berhasil menggunakan strategi meng-encourage involvement konsumen tetapi ada kesalahan pemilihan menu “umpan” yang terlalu vulgar akan menjadi bumerang tersendiri bagi brand image Fren. Terlebih isu pornografi merupakan salah satu isu yang menjadi menu laris dan kontroversial, sehingga iklan ini terkesan murahan, dan kurang cerdas.

Nilai Artistik pada iklan fren sobat
Iklan fren jika dilihat dari sisi artistik, iklan ini sudah tersusun dengan baik (it organizes), hal ini bisa dilihat dari penataan elemen-elemen grafisnya, perpaduan warna, ditambah dengan objek daun serta jarak antara Image dengan teks, yang masing-masing mempunyai nilai artistik sendiri serta masing--masing dari elemen mempunyai keterikatan, namun jika jika kita merujuk kepada teori artistik, atau iklan yang baik, iklan ini tidak memenuhi tiga kriteria iklan yang baik, dia hanya memenuhi dua kriteria yaitu it Organizes (ditata dengan baik) dan It Attracts (menarik bagi khalayak secara visual).
namun tujuan itama dari iklan ini “it works” tidak tercapai, hal ini bisa dilihat dari tagline iklan tersebut “ Nelpon Pake Fren Bayarnya Pake Daun” yang tentunya membuat bingung konsumen, karena tidak semua khalayak mengerti dengan maksud kata-kata ini. kemudian ilustrasi modelnya dengan bertelanjang dada tidak klop untuk kategori iklan selular, dan akan lebih cocok jika ilustrasi tersebut digunakan untuk iklan sabun mandi, atau iklan sejenis yang mengharuskan modelnya memperlihatkan salah satu bagian tubuhnya.
Akhirnya iklan yang baik seharusnya iklan bukan hanya iklan yang jujur, bukan hanya artistik, namun lebih dari itu iklan yang baik adalah iklan yang didalamnya mempunyai nilai-nilai sosial, edukasi, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Previous Post Next Post